• Cahaya itu tak pernah hilang, hanya meredup kemudian kembali bersinar semakin menyilaukan

    Mengapa Kemenangan Tidak Kunjung Datang


    Mengapa kemenangan dakwah tak kunjung datang, padahal gerakan dakwah ini semakin lama semakin matang? Mengapa nashrullâh

    tak kunjung turun, padahal perjuangan dakwah ini sudah berjalan puluhan

    tahun? Mengapa Khilafah tak kunjung tegak berdiri, padahal jamaah

    dakwah ini, selama ini, konsisten mengikuti manhaj Nabi saw.?


    Mungkin

    beberapa pertanyaan di atas pernah terbersit dalam jiwa setiap syabab

    pengemban dakwah, tentu yang senantiasa menjadikan dakwah sebagai fokus

    perhatian dan poros hidupnya. Tidak jarang, pertanyaan-pertanyaan

    semacam ini memunculkan keraguan dalam jiwanya terhadap kesahihan fikrah (pemikiran) dan tharîqah

    (metode dakwah) yang selama ini ditempuh gerakan dakwahnya. Tidak

    jarang pula pertanyaan-pertanyaan di atas membersitkan ketidak-tsiqah-an dirinya terhadap harakah dakwah sekaligus qiyâdah-nya.



    Pertanyaan-pertanyaan
    di atas sebetulnya wajar, bahkan harus selalu menjadi bahan tafakur dan
    renungan setiap pengemban dakwah. Dengan itu ia akan selalu bersikap
    kritis terhadap setiap penyimpangan—hatta seujung rambut—yang dilakukan
    oleh jamaah dakwahnya dari manhaj dakwah Rasulullah saw. Namun, sudah
    selayaknya pertanyaan-pertanyaan itu juga memunculkan sikap kritis
    terhadap dirinya sendiri. Sudahkah ia menjadi pengemban dakwah sejati
    sebagaimana Rasulullah saw. dan para Sahabatnya? Sebab, jangan-jangan
    tertundanya nashrullâh dan tak kunjung tegaknya Khilafah adalah karena
    kualitas keimanan maupun ketakwaan kita yang masih sangat jauh
    dibandingkan dengan generasi salafus-shâlih dulu.


    *****


    Rasulullah
    saw. dan para Sahabatnya, juga generasi salafush-shâlih setelah mereka,
    meraih kemenangan demi kemenangan atas musuh-musuh mereka karena mereka
    senantiasa berpegang teguh pada agama ini.


    Di
    dalam banyak kitab Sîrah telah diriwayatkan bahwa musuh mana pun tidak
    sanggup bertahan lama menghadapi para Sahabat Rasulullah saw., bahkan
    Kerajaan Romawi sekalipun, yang saat itu merupakan sebuah ‘negara
    adidaya’.


    Mengapa
    pasukan Romawi bisa dikalahkan oleh kaum Muslim? Inilah yang juga
    menjadi pertanyaan Heraklius, penguasa Romawi saat itu. Saat berada di
    Antakiah dan pasukan Romawi pulang dalam keadaan kalah menghadapi kaum
    Muslim, Heraklius berkata kepada pasukannya, “Celaka kalian!
    Jelaskan kepadaku tentang orang-orang yang berperang melawan kalian?
    Bukankah mereka juga manusia seperti kalian?!”


    “Benar,” jawab pasukan Romawi.


    “Siapa yang lebih banyak pasukannya, kalian atau mereka?”


    “Kami lebih banyak pasukannya beberapa kali lipat di semua tempat.”


    “Lalu mengapa kalian bisa dikalahkan?” Tanya Heraklius lagi.


    Salah seorang tokoh Romawi berkata, “Karena
    mereka biasa melakukan salat malam, berpuasa pada siang hari, menepati
    janji, melakukan amar makruf nahi mungkar dan berlaku adil kepada
    sesama mereka. Sebaliknya, kita biasa minum minuman keras, berzina,
    melakukan keharaman, ingkar janji, merampok, menzalimi orang,
    memerintahkan hal-hal haram, melarang hal-hal yang diridhai Tuhan serta
    membuat kerusakan di muka bumi.”


    Kepada tokoh itu, Heraklius berkata, “Kamu benar!” (Diriwayatkan oleh Ahmad bin Marwan al-Malik, dalam kitab Al-Bidâyah (VII/15); juga oleh Ibnu Asakir).


    Sebab-sebab
    pembawa kemenangan juga pernah dijelaskan oleh salah seorang intel
    Romawi yang dikirim untuk menyelidiki kondisi kaum Muslim. Usai
    menjalankan tugasnya, intel itu menjelaskan kondisi kaum Muslim,
    “Mereka adalah ‘para biarawan’ (para ahli ibadah) pada malam hari dan
    para pendekar ulung pada siang hari. Jika anak penguasa mereka mencuri,
    mereka memotong tangannya, dan jika ia berzina, mereka merajamnya,
    untuk menegakkan kebenaran di tengah-tengah mereka.”


    Mendengar itu, atasan sang intel itu berkata, “Jika
    laporanmu ini benar, perut bumi (kematian, pen.) lebih baik bagiku
    daripada berhadapan dengan mereka di atas permukaan bumi. Aku berharap
    Tuhan tidak mempertemukan aku dengan mereka.” (Diriwayatkan Al-Baihaqi, dalam As-Sunan al-Kubrâ, VIII/175).


    ****


    Jelas,
    kemenangan generasi Muslim terdahulu adalah karena keteguhan mereka
    dalam berpegang teguh dengan agama ini. Sebaliknya, kekalahan yang
    mereka alami adalah karena kebalikannya.


    Jika
    kita menelaah Perang Uhud, misalnya, kita akan menemukan bahwa sebab
    kekalahan kaum Muslim di dalamya ialah karena perilaku sebagian kecil
    dari mereka yang tidak menaati perintah Rasulullah saw. Sebagian
    pasukan pemanah, yang jumlah mereka tidak mencapai 4% dari jumlah total
    pasukan kaum Muslim ketika itu, melakukan tindakan indisipliner. Mereka
    bermaksiat terhadap perintah Rasulullah saw. Akibatnya, 70 orang
    Sahabat terbunuh; perut mereka dibelah; hidung dan telinga mereka
    dimutilasi; Rasulullah saw. sendiri terluka, wajah Beliau tergores, dan
    gigi antara gigi seri dan gigi taring Beliau rontok.


    *****


    Jadi, mengapa nashrullâh
    tak kunjung turun, kemenangan tak kunjung datang dan Khilafah tak
    kunjung tegak? Boleh jadi, semua itu berpangkal pada kemaksiatan kita,
    bukan karena ketidaksahihan fikrah dan tharîqah dakwah kita. Mungkin
    karena selama ini kita pun bermaksiat kepada Allah Swt. dan
    Rasulul-Nya. Mungkin selama ini kita belum bisa menjaga kejernihan
    akal-pikiran kita; belum bisa memelihara kebersihan hati kita dari
    penyakit riya, ujub, sombong, ambisi jabatan, dll; belum mampu
    melindungi pandangan kita dari hal-hal yang haram; belum sanggup
    menjaga lisan kita dari ucapan-ucapan yang tidak berguna; dan belum
    dapat mengendalikan anggota tubuh kita dari perilaku maksiat. Mungkin
    selama ini kita juga sering melalaikan akad, mengkhianati amanah
    (terutama amanah dakwah) serta melanggar janji dan sumpah (terutama
    untuk taat dan patuh pada qiyâdah atas nama Allah).


    Jika
    semua itu yang memang menjadi faktor mengapa nashrullâh, kemenangan dan
    Khilafah tak kunjung segera terwujud, maka tidak ada cara lain selain
    kita harus segera bertobat dengan tawbat[an] nashûha; kembali kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan segala kesucian jiwa-raga.


    Wa mâ tawfîqî illâ billâh. (Arief B. Iskandar)

    0 komentar:

    Posting Komentar

     
    Sesuatu yang diciptakan dengan komplek

    Category